LELAKI
SENJA
Aku menatap senja di kejauhan.
Ditemani secangkir kopi hangat dengan aroma yang begitu harum. Menjadi aroma
terapi. Membantu merilekskan saraf-saraf yang menegang. Salah satu kegiatan
kesukaan yang sudah lama aku tinggalkan. Menutup hari dengan menatap senja.
Menghapus segala beban hidup yang terjadi hari ini. Menutup segala
kekecewaan-kekecewaan yang terjadi hari ini. Dan menghitung segala nikmat yang
di dapatkan hari ini. Menghadirkan segala kesyukuran.
Bibir merapalkan berbagai macam
doa-doa senja hari. Ritual yang sering kali terlupakan karena tidak setiap hari
mampu menikmati senja dengan begitu nyamannya. Banyak senjaku berlalu dengan begitu saja.
Tanpa sempat mengatakan salam perpisahan. Seolah tiba-tiba saja aku telah berhadapan
dengan pagi hari yang baru. Dengan mentari yang sama namun hari yang berbeda. Terima
kasihku pada Allah karena telah menghadirkan senja yang begitu indah hari ini.
“Trettt…trettt…. “ Getaran HP di
kantong mengganggu acara bersantaiku. Sejanak kusesali saat tetap membawa-bawa
benda mungil tersebut kemanapun aku pergi. Benda mungil bernama HP itu memang
sangat dibutuhkan dalam dunia digital saat ini. Namun, tidak jarang benda itu
dapat mengacaukan beberapa hal. Seperti saat ini.
“Ada berita apa lagi.” Batinku
sambil merogoh saku. Melirik sekilas si pengirim pesan singkat. Dari salah satu
sahabatku di Sekolah Menengah Atas dahulu. Sebelum kubuka pesannya aku dapat menebak
bahwa ini adalah berita gembira yang bercampur berita menyedihkan setidaknya
hanya bagiku.
“Say… aku baru lahiran. Cewek.
Cepetan kesini lihat ya…” tulisnya
Senyum terkembang di bibirku. Yang
mengandung dua arti. Senyum bahagia akan kelahiran putra kedua sahabatku
tersebut. Dan sebuah senyum karena kecemburuan. “Alhamdulillah. Selamat ya… Insya
Allah. Kalau sedang senggang.” Balasku singkat.
Senggang?? Siapa diriku yang sok
sibuk ini?. Bukankah kesibukan-kesibukan ini hanya palsu. Bukankah segala macam
aktivitas yang kulakukan hanyalah sebuah pengalihan. Pengalihan pikiran. Agar
aku tidak berpusat dalam rasa cemburuku akan semua hal. Acara-acaraku hanyalah
sebuah alasan agar aku menjauh. Menjauh dari dunia mimpi yang rasanya sulit aku
genggam. Yang rasanya jauh dari jangkauanku. Sekali lagi aku tersenyum getir akan
semua alasan-alasan yang ku buat-buat.
“Trett…trett…” Sekali lagi
ponselku bergetar. “HARUS SEMPAT. Anakku cantik. Jangan lupa kadonya ya…
semakin besar kadonya semakin besar do’ku semoga kamu segera dapat putri
secantik dia.” balasnya.
Aku tahu sebenarnya dia merasakan
kesedihanku. Dia mungkin salah satu dari sedikit orang yang faham benar gejolak
hati dan pikiranku. Dia tahu benar, bahwa aku sangat memerlukan do’a dan
motivasi. Sebuah motivasi yang tersampaikan dari hati ke hati. Karena banyak
sekali orang-orang di sekitarku. Baik itu keluarga, teman, dan rekan kerja yang
sering kali beralasan memotivasiku. Dengan mengatakan statusku di depan banyak
orang. Memotivasi dengan menyebutkan kelemahan dan kekurangan orang lain di
sertai tawa. Mungkin sebagian orang lain menganggap itu sebagai penghilang
stress namun bisa jadi bagi sebagian yang lain atau orang yang di inginkan
mendapat motivasi malah sakit hati dan down. Tapi, setiap kali aku mendapatkan
perlakuan yang seperti itu. Aku memilih lebih banyak tersenyum dan tertawa
bersama yang lainnya. Mencoba tegar tidak cocok dengan itu. Karena aku masih
menyimpan sakit hati yang kurasakan. Mungkin bisa dikatakan aku seorang
pendendam.
“Sudah kusiapkan kado yang besar
dan berat.” Jawabku mencoba mencairkan suasana hatiku
“Apa itu???”
“Aku. Bukankah kehadiran ku dalam
beberapa menit. Telah mampu menghapus rasa sakit pasca melahirkan yang kau
rasakan?”
“Gombal…. Jangan menyendiri, senja seperti ini banyak setan lewat.
Kalau setannya ganteng ndak papa….” Tutupnya seolah dapat menebak keberadaanku
saat ini dan hanya ku balas dengan sebuah gambar senyum.
Gambar senyum yang kukirim.
Menghasilkan bunga-bunga mekar di hatiku. Mungkin ini yang disebut dengan
terapi senyum. Saat marah, kesal dan tidak enak. Maka kau hanya perlu menarik
sudut-sudut bibirmu ke kiri dan ke kanan masing-masing 1 cm. maka semua ototmu
akan rileks.
Setelah efek senyum itu merasuk
lewat seluruh aliran darahku. Segera ku akhiri acara menatap senjaku. Sebentar
lagi senja akan berganti dengan malam. Awan hitam mulai datang dan -suara-suara
dari masjid yang akan bersiap-siap mengumandangkan adzan maghrib mulai
terdengar.
Dalam hati aku berod’a semoga di
waktu dekat aku akan berkesempatan menikmati senja dengan seseorang. Seseorang
yang akan membagi semua hal denganku dan membangun banyak hal dengan ku. Aamiin
Sudah hampir sebulan setelah
kelahiran anak kedua sahabatku. Namun, aku belum juga menyempatkan diri untuk
menemui keluarga bahagia itu. Aku hanya mengumpulkan informasi tentang buah
hatinya lewat pesan-pesan singkat dan foto-foto si bayi yang di upload di
dinding facebook sahabatku dan
suaminya.
Banyak hal yang membuat langkah kakiku berat
melangkah kerumahnya. Mungkin karena kecemburuanku dan motivasi-motivasi tidak
tepat sasaran yang mungkin akan terlontar saat aku ke rumah sahabatku dan
berbarengan dengan orang lain.
Namun, hari ini setelah kecemburuanku terkalahkan
telak oleh rasa penasaranku akan keponakan baruku dan janji sahabatku kalau
mereka tidak akan kedatangan tamu selain aku. Maka akupun segera bersiap
menemui keponakan baruku.
Dan disinilah aku sekarang. Di salah satu baby shop. Memilih hadiah untuk
keponakannku yang cantik. Dan tidak lupa untuk sang kakak. Untuk mengurangi
rasa cemburu berlebihan akan kelahiran adiknya.
“Mbak Isa!”
Panggil seseorang saat aku sedang menimbang-nimbang warna hadiah.
“Bu Dian.“ Sapaku saat melihat bu Dian yang menenteng
keranjang belanjaannya. Segera kucium tangannya yang terulur.
“Cari apa?” Tanyanya
“Untuk hadiah baby
nya Nia. Sudah hampir sebulan, baru ada kesempatan.”
“Ooo… istrinya mas Dimas sebentar lagi juga
melahirkan.” Tanggapan yang benar-benar melencong jauh. Dan pertanyaan yang
sudah kutebak akhirnya terlontar. “Mbak Isa kapan? Jangan sibuk kerja terus
nanti usianya bertambah. Jangan pilih-pilih. Pamali wanita pilih-pilih itu.
Emang mbak Isa mau pilih yang macam bagaimana? Mungkin kalau ada kenalan nanti
ibu kenalkan. Atau mungkin sebenarnya mbak Isa sudah punya yang di incar?”
Pertanyaan tanpa butuh jawaban yang disertai senyum tanpa ketulusan. “Wanita
itu yang dibutuhkan lelaki yang mencintainya mbak. Ndak usah memulu
mengharapkan cinta dari lelaki yang mbak Isa cintai diam-diam.” lanjutnya panjang lebar. Dan
hampir semua pernyataanya membuat telingaku memerah.
Kenapa orang lain selalu menganggap aku pilih-pilh.
Bukankan memilih itu penting. Bagaimana aku bisa tenang jika dalam pertemuan
pertama si lelaki menatapku seolah-olah aku barang dagangan yang sedang di
nilai harganya. Bagaimana nanti aku akan percaya jika si calon sudah
mengeluarkan berbagai kata penuh rayuan yang sulit aku terima dan fahami di
acara perkenalan. Bagaimana aku akan menyakin bahwa dia akan menjadi pemimpin
ku di masa datang jika kulihat dia mengundur-undur waktu sholatnya . Dan
bagaimana aku yakin akan bahagia jika dia mempunyai kebiasaan yang dapat
mengganggu kesehatan pernasfasanku.
^OoO^
Aku selalu menggunakan alasan-alasan itu untuk
menjauh. Bagaimana mungkin aku akan menghapuskan segala macam alasan itu karena
dalam mimpiku dia akan jadi orang yang menemaniku seumur hidupku. Kenapa orang
lain keberatan dengan hal itu sementara ayah dan ibu hanya tersenyum menguatkan
saat aku memutuskan untuk masih sendiri. Masih ku ingat jelas nasehat beliau
berdua saat aku ragu-ragu tentang seorang pria dalam salah satu acara
perkenalan. “Kalau memang terlihat rumit, ragu-ragu, kesana-kemari, lupakan
saja. Urusan perasaan sejatinya biasa saja. Kau akan menemui seseorang yang
saat kau melihatnya secara tiba-tiba hatimu berkata dialah yang kau cari. Tanpa
tahu sebabnya yang pasti. Karena banyak hal yang membuatmu merasa nyaman. Tidak
usah perdulikan apapun omongan orang nak. Suami adalah imammu dan imam
anak-anakmu maka harus dan wajib kau teliti dengan baik” Dan pernyatan itu
cukup menguatkanku dalam berbagai situasi. Termasuk saat ini.
“Alhamdulilah. Semoga kelahirannya lancar. Mohon bu
Dian bantu mendo’akan saya juga segera memiliki suami dan anak-anak yang
menjadi permata hati.” Jawabku lancar dan terlatih.
“Sebelum ngomongin anak. Terlebih dulu harus punya
suami. Emang beneran sudah ada calonnya?” Bu Dian sepertinya tak ingin
menyerah.
“Insya Allah
sudah disiapkan sama Allah. Tinggal menunggu detik-detik pertemuannya bu.
Bukankah kelahiran, rezeki, jodoh dan kematian adalah rahasia Allah bu?”
Pertanyaan retoris kulontarkan. “Tapi kenapa orang selalu mempertanyakan kapan
kelahiran anakmu? Kapan kamu ketemu jodomu? Kenapa tidak bertanya kapan kamu
bertemu dengan kematianmu?.” Jawabku panjang lebar dan tersenyum senang saat
melihatnya terhenyak dengan pernyataan terakhirku. Segera aku berpamitan
padanya dan mungkin menyisakan rasa benci di hatinya. Tindakanku salah dan
tidak layak di tiru namun perasaanku rasanya begitu lapang dan optimis.
Senyumku yang terkembang saat membelakanginya semakin
lebar . Namun, segera menutup kembali kesaat kulihat seorang pria sedang
menatapku seolah mendengar semua pembicaaranku dengan bu Dian. Aku memberikan
senyum malu-malu pada lelaki tersebut dan melirik beberapa orang disekitarku sambil
berharap tidak ada orang lain yang mendengar pembicaan kami selain pria di
hadapanku ini. Jika mereka semua mendengar pasti mereka mengannggap aku seseorang yang ketus
atau lebih parahnya jahat. Karena tersenyum senang saat membuat orang lain
marah.
Aku menarik nafas lega saat kulihat aktivitas orang
lain disekitaku masih normal. Kecuali pria didepanku. Yang terlihat kaget saat
acara mengupingnya diketahui. Namun, aku sedikit lega saat kulihat dia
tersenyum seolah mendukung argumenku. Tersenyum bersamaku saat aku menjatuhkan
lawan. Lawan. Itu adalah kata yang terbaik yang aku temukan. Sedikit
kubungkukkan pungunggku pada lelaki tersebut dan segera berlalu dengan
melanjutka senyum yang sempat tertunda.
^OoO^
Senja sore ini kurasa adalah senja yang indah. Senja
yang penuh kegembiraan. Senja yang menghantarkan banyak senyuman. Aku tersenyum
senang akan kemenangan ku terhadap bu Dian.
Senyumku melebar mendengar celotehan
Kautsar, anak pertama sahabatku. Dan senyumku semakin melebar saat melihat si
kecil yang kini dalam gendonganku tersenyum di tengah tidurnya. Dan senyumku
perahan memudar saat kudengar deru motor berhenti di halaman rumah sahabatku.
Kulirik sekilas sahabatku, Nia yang sedang berbisik
dengan suaminya. Mataku terpaku pada mereka penuh tanya. Suaminya mengangguk
padaku dan bergegas menyambut tamunya.
“Ada yang ingin kami kenalkan denganmu.” Kata Nia
sambil menggeser posisi duduknya di sampingku.
“Teman SMP suamiku. Cobalah
bersikap yang baik say.” Katanya.
Sesaat kemudian suami Nia masuk ruang tamu dengan
temannya. aku sama sekali tidak berani menatap sosok yang kini duduk di
depanku. Sosok yang duduk menghadap senja. Tanpa tangan telulur padaku juga
pada Nia.
“Isa.” Panggil suami Nia. “Kenalkan ini Salim. Teman
SMP ku. Dan Salim kenalkan ini Isa sabat SMA istriku.”
Kuberanikan menatap sosok di depanku. Senyumnya penuh
kesantunan. Bukan jenis senyum yang pernah aku jadikan alasan untuk menunda
pernikahannku. Beberapa detik mata kami bersitatap dan tiba-tiba senyum kami
mengembang bersama. “Lelaki ini adalah yang aku temui beberapa saat yang lalu
di baby shop.” Batinku. Mungkin lelaki di depanku juga mengingat kejaidian yang
sama. Mulutnya sedikit terbuka karena terkejut.
“Kalian sudah kenal?” Tanya Nia melihat ekspresi
kami.
“Kami bertemu beberapa saat yang lalu. Saat dia
memukul telak lawannya.” Katanya yang sedikit mengandung rahasia bagi Nia dan
suaminya.
“Memukul telak? Lawannya?” Nia membeo
Senyumku melebar. Dan tanpa permisi ada sebuah
perasaan nyaman yang tiba-tiba datang memenuhi hatiku. Dan Kurasakan ruang tamu
Nia berubah menjadi lebih indah dan luas dari pada sebelumnya. Senja kali ini
adalah salah satu senja yang dipenuhi banyak senyuman.
Senin, 16 November 2015
*Untuk seseorang yang ingin kubagi senja bersama.
Merangkai dan membangun cita di senja hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar