Cari Blog Ini

Blog ini di dedikasikan kepada tim pewaris negeri "OASE club" untuk mengasah bakat dan kreatifitas mereka.

Senin, 16 November 2015

LELAKI SENJA


Aku menatap senja di kejauhan. Ditemani secangkir kopi hangat dengan aroma yang begitu harum. Menjadi aroma terapi. Membantu merilekskan saraf-saraf yang menegang. Salah satu kegiatan kesukaan yang sudah lama aku tinggalkan. Menutup hari dengan menatap senja. Menghapus segala beban hidup yang terjadi hari ini. Menutup segala kekecewaan-kekecewaan yang terjadi hari ini. Dan menghitung segala nikmat yang di dapatkan hari ini. Menghadirkan segala kesyukuran.
Bibir merapalkan berbagai macam doa-doa senja hari. Ritual yang sering kali terlupakan karena tidak setiap hari mampu menikmati senja dengan begitu nyamannya.  Banyak senjaku berlalu dengan begitu saja. Tanpa sempat mengatakan salam perpisahan. Seolah tiba-tiba saja aku telah berhadapan dengan pagi hari yang baru. Dengan mentari yang sama namun hari yang berbeda. Terima kasihku pada Allah karena telah menghadirkan senja yang begitu indah hari ini.
“Trettt…trettt…. “ Getaran HP di kantong mengganggu acara bersantaiku. Sejanak kusesali saat tetap membawa-bawa benda mungil tersebut kemanapun aku pergi. Benda mungil bernama HP itu memang sangat dibutuhkan dalam dunia digital saat ini. Namun, tidak jarang benda itu dapat mengacaukan beberapa hal. Seperti saat ini.
“Ada berita apa lagi.” Batinku sambil merogoh saku. Melirik sekilas si pengirim pesan singkat. Dari salah satu sahabatku di Sekolah Menengah Atas dahulu.  Sebelum kubuka pesannya aku dapat menebak bahwa ini adalah berita gembira yang bercampur berita menyedihkan setidaknya hanya bagiku.
“Say… aku baru lahiran. Cewek. Cepetan kesini lihat ya…” tulisnya
Senyum terkembang di bibirku. Yang mengandung dua arti. Senyum bahagia akan kelahiran putra kedua sahabatku tersebut. Dan sebuah senyum karena kecemburuan. “Alhamdulillah. Selamat ya… Insya Allah. Kalau sedang senggang.” Balasku singkat.
Senggang?? Siapa diriku yang sok sibuk ini?. Bukankah kesibukan-kesibukan ini hanya palsu. Bukankah segala macam aktivitas yang kulakukan hanyalah sebuah pengalihan. Pengalihan pikiran. Agar aku tidak berpusat dalam rasa cemburuku akan semua hal. Acara-acaraku hanyalah sebuah alasan agar aku menjauh. Menjauh dari dunia mimpi yang rasanya sulit aku genggam. Yang rasanya jauh dari jangkauanku. Sekali lagi aku tersenyum getir akan semua alasan-alasan yang ku buat-buat.
“Trett…trett…” Sekali lagi ponselku bergetar. “HARUS SEMPAT. Anakku cantik. Jangan lupa kadonya ya… semakin besar kadonya semakin besar do’ku semoga kamu segera dapat putri secantik dia.” balasnya.
                Aku tahu sebenarnya dia merasakan kesedihanku. Dia mungkin salah satu dari sedikit orang yang faham benar gejolak hati dan pikiranku. Dia tahu benar, bahwa aku sangat memerlukan do’a dan motivasi. Sebuah motivasi yang tersampaikan dari hati ke hati. Karena banyak sekali orang-orang di sekitarku. Baik itu keluarga, teman, dan rekan kerja yang sering kali beralasan memotivasiku. Dengan mengatakan statusku di depan banyak orang. Memotivasi dengan menyebutkan kelemahan dan kekurangan orang lain di sertai tawa. Mungkin sebagian orang lain menganggap itu sebagai penghilang stress namun bisa jadi bagi sebagian yang lain atau orang yang di inginkan mendapat motivasi malah sakit hati dan down. Tapi, setiap kali aku mendapatkan perlakuan yang seperti itu. Aku memilih lebih banyak tersenyum dan tertawa bersama yang lainnya. Mencoba tegar tidak cocok dengan itu. Karena aku masih menyimpan sakit hati yang kurasakan. Mungkin bisa dikatakan aku seorang pendendam.
“Sudah kusiapkan kado yang besar dan berat.” Jawabku mencoba mencairkan suasana hatiku
“Apa itu???”
“Aku. Bukankah kehadiran ku dalam beberapa menit. Telah mampu menghapus rasa sakit pasca melahirkan yang kau rasakan?”
Gombal…. Jangan menyendiri, senja seperti ini banyak setan lewat. Kalau setannya ganteng ndak papa….” Tutupnya seolah dapat menebak keberadaanku saat ini dan hanya ku balas dengan sebuah gambar senyum.   
Gambar senyum yang kukirim. Menghasilkan bunga-bunga mekar di hatiku. Mungkin ini yang disebut dengan terapi senyum. Saat marah, kesal dan tidak enak. Maka kau hanya perlu menarik sudut-sudut bibirmu ke kiri dan ke kanan masing-masing 1 cm. maka semua ototmu akan rileks.
Setelah efek senyum itu merasuk lewat seluruh aliran darahku. Segera ku akhiri acara menatap senjaku. Sebentar lagi senja akan berganti dengan malam. Awan hitam mulai datang dan -suara-suara dari masjid yang akan bersiap-siap mengumandangkan adzan maghrib mulai terdengar.
Dalam hati aku berod’a semoga di waktu dekat aku akan berkesempatan menikmati senja dengan seseorang. Seseorang yang akan membagi semua hal denganku dan membangun  banyak hal dengan ku. Aamiin
               
Sudah hampir sebulan setelah kelahiran anak kedua sahabatku. Namun, aku belum juga menyempatkan diri untuk menemui keluarga bahagia itu. Aku hanya mengumpulkan informasi tentang buah hatinya lewat pesan-pesan singkat dan foto-foto si bayi yang di upload di dinding facebook sahabatku dan suaminya.
     Banyak hal yang membuat langkah kakiku berat melangkah kerumahnya. Mungkin karena kecemburuanku dan motivasi-motivasi tidak tepat sasaran yang mungkin akan terlontar saat aku ke rumah sahabatku dan berbarengan dengan orang lain.
          Namun, hari ini setelah kecemburuanku terkalahkan telak oleh rasa penasaranku akan keponakan baruku dan janji sahabatku kalau mereka tidak akan kedatangan tamu selain aku. Maka akupun segera bersiap menemui keponakan baruku.
           Dan disinilah aku sekarang. Di salah satu baby shop. Memilih hadiah untuk keponakannku yang cantik. Dan tidak lupa untuk sang kakak. Untuk mengurangi rasa cemburu berlebihan akan kelahiran adiknya.
             “Mbak Isa!” Panggil seseorang saat aku sedang menimbang-nimbang warna hadiah.
          “Bu Dian.“ Sapaku saat melihat bu Dian yang menenteng keranjang belanjaannya. Segera kucium tangannya yang terulur.
             “Cari apa?” Tanyanya
             “Untuk hadiah baby nya Nia. Sudah hampir sebulan, baru ada kesempatan.”
             “Ooo… istrinya mas Dimas sebentar lagi juga melahirkan.” Tanggapan yang benar-benar melencong jauh. Dan pertanyaan yang sudah kutebak akhirnya terlontar. “Mbak Isa kapan? Jangan sibuk kerja terus nanti usianya bertambah. Jangan pilih-pilih. Pamali wanita pilih-pilih itu. Emang mbak Isa mau pilih yang macam bagaimana? Mungkin kalau ada kenalan nanti ibu kenalkan. Atau mungkin sebenarnya mbak Isa sudah punya yang di incar?” Pertanyaan tanpa butuh jawaban yang disertai senyum tanpa ketulusan. “Wanita itu yang dibutuhkan lelaki yang mencintainya mbak. Ndak usah memulu mengharapkan cinta dari lelaki yang mbak Isa cintai  diam-diam.” lanjutnya panjang lebar. Dan hampir semua pernyataanya membuat telingaku memerah.
           Kenapa orang lain selalu menganggap aku pilih-pilh. Bukankan memilih itu penting. Bagaimana aku bisa tenang jika dalam pertemuan pertama si lelaki menatapku seolah-olah aku barang dagangan yang sedang di nilai harganya. Bagaimana nanti aku akan percaya jika si calon sudah mengeluarkan berbagai kata penuh rayuan yang sulit aku terima dan fahami di acara perkenalan. Bagaimana aku akan menyakin bahwa dia akan menjadi pemimpin ku di masa datang jika kulihat dia mengundur-undur waktu sholatnya . Dan bagaimana aku yakin akan bahagia jika dia mempunyai kebiasaan yang dapat mengganggu kesehatan pernasfasanku.

                                                                    ^OoO^

        Aku selalu menggunakan alasan-alasan itu untuk menjauh. Bagaimana mungkin aku akan menghapuskan segala macam alasan itu karena dalam mimpiku dia akan jadi orang yang menemaniku seumur hidupku. Kenapa orang lain keberatan dengan hal itu sementara ayah dan ibu hanya tersenyum menguatkan saat aku memutuskan untuk masih sendiri. Masih ku ingat jelas nasehat beliau berdua saat aku ragu-ragu tentang seorang pria dalam salah satu acara perkenalan. “Kalau memang terlihat rumit, ragu-ragu, kesana-kemari, lupakan saja. Urusan perasaan sejatinya biasa saja. Kau akan menemui seseorang yang saat kau melihatnya secara tiba-tiba hatimu berkata dialah yang kau cari. Tanpa tahu sebabnya yang pasti. Karena banyak hal yang membuatmu merasa nyaman. Tidak usah perdulikan apapun omongan orang nak. Suami adalah imammu dan imam anak-anakmu maka harus dan wajib kau teliti dengan baik” Dan pernyatan itu cukup menguatkanku dalam berbagai situasi. Termasuk saat ini.
        “Alhamdulilah. Semoga kelahirannya lancar. Mohon bu Dian bantu mendo’akan saya juga segera memiliki suami dan anak-anak yang menjadi permata hati.” Jawabku lancar dan terlatih.
          “Sebelum ngomongin anak. Terlebih dulu harus punya suami. Emang beneran sudah ada calonnya?” Bu Dian sepertinya tak ingin menyerah.
          “Insya Allah sudah disiapkan sama Allah. Tinggal menunggu detik-detik pertemuannya bu. Bukankah kelahiran, rezeki, jodoh dan kematian adalah rahasia Allah bu?” Pertanyaan retoris kulontarkan. “Tapi kenapa orang selalu mempertanyakan kapan kelahiran anakmu? Kapan kamu ketemu jodomu? Kenapa tidak bertanya kapan kamu bertemu dengan kematianmu?.” Jawabku panjang lebar dan tersenyum senang saat melihatnya terhenyak dengan pernyataan terakhirku. Segera aku berpamitan padanya dan mungkin menyisakan rasa benci di hatinya. Tindakanku salah dan tidak layak di tiru namun perasaanku rasanya begitu lapang dan optimis.
            Senyumku yang terkembang saat membelakanginya semakin lebar . Namun, segera menutup kembali kesaat kulihat seorang pria sedang menatapku seolah mendengar semua pembicaaranku dengan bu Dian. Aku memberikan senyum malu-malu pada lelaki tersebut dan melirik beberapa orang disekitarku sambil berharap tidak ada orang lain yang mendengar pembicaan kami selain pria di hadapanku ini. Jika mereka semua mendengar pasti  mereka mengannggap aku seseorang yang ketus atau lebih parahnya jahat. Karena tersenyum senang saat membuat orang lain marah.
        Aku menarik nafas lega saat kulihat aktivitas orang lain disekitaku masih normal. Kecuali pria didepanku. Yang terlihat kaget saat acara mengupingnya diketahui. Namun, aku sedikit lega saat kulihat dia tersenyum seolah mendukung argumenku. Tersenyum bersamaku saat aku menjatuhkan lawan. Lawan. Itu adalah kata yang terbaik yang aku temukan. Sedikit kubungkukkan pungunggku pada lelaki tersebut dan segera berlalu dengan melanjutka senyum yang sempat tertunda.


                                                                   ^OoO^
      Senja sore ini kurasa adalah senja yang indah. Senja yang penuh kegembiraan. Senja yang menghantarkan banyak senyuman. Aku tersenyum senang akan kemenangan ku terhadap  bu Dian. Senyumku  melebar mendengar celotehan Kautsar, anak pertama sahabatku. Dan senyumku semakin melebar saat melihat si kecil yang kini dalam gendonganku tersenyum di tengah tidurnya. Dan senyumku perahan memudar saat kudengar deru motor berhenti di halaman rumah sahabatku.
           Kulirik sekilas sahabatku, Nia yang sedang berbisik dengan suaminya. Mataku terpaku pada mereka penuh tanya. Suaminya mengangguk padaku dan bergegas menyambut tamunya.
         “Ada yang ingin kami kenalkan denganmu.” Kata Nia sambil menggeser posisi duduknya di sampingku.          
              “Teman SMP suamiku. Cobalah bersikap yang baik say.” Katanya.
          Sesaat kemudian suami Nia masuk ruang tamu dengan temannya. aku sama sekali tidak berani menatap sosok yang kini duduk di depanku. Sosok yang duduk menghadap senja. Tanpa tangan telulur padaku juga pada Nia.
           “Isa.” Panggil suami Nia. “Kenalkan ini Salim. Teman SMP ku. Dan Salim kenalkan ini Isa sabat SMA istriku.”
              Kuberanikan menatap sosok di depanku. Senyumnya penuh kesantunan. Bukan jenis senyum yang pernah aku jadikan alasan untuk menunda pernikahannku. Beberapa detik mata kami bersitatap dan tiba-tiba senyum kami mengembang bersama. “Lelaki ini adalah yang aku temui beberapa saat yang lalu di baby shop.” Batinku. Mungkin lelaki di depanku juga mengingat kejaidian yang sama. Mulutnya sedikit terbuka karena terkejut.
             “Kalian sudah kenal?” Tanya Nia melihat ekspresi kami.
          “Kami bertemu beberapa saat yang lalu. Saat dia memukul telak lawannya.” Katanya yang sedikit mengandung rahasia bagi Nia dan suaminya.
            “Memukul telak? Lawannya?” Nia membeo
           Senyumku melebar. Dan tanpa permisi ada sebuah perasaan nyaman yang tiba-tiba datang memenuhi hatiku. Dan Kurasakan ruang tamu Nia berubah menjadi lebih indah dan luas dari pada sebelumnya. Senja kali ini adalah salah satu senja yang dipenuhi banyak senyuman.



Senin, 16 November 2015

*Untuk seseorang yang ingin kubagi senja bersama. Merangkai dan membangun cita di senja hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar