Kulirik sekilas arlogi yang melingkar di
tangan kananku. Jarum menunjukkan pukul 06.43. Aku bernafas lega diikuti oleh
sepupu dan tanteku. Setelah berkutat di tengah kota Surabaya mengandalkan
pengalaman dan GPRS akhirnya kami berhasil memasuki halaman RSU Dr. Soetomo
tepat 12 menit sebelum loket di buka.
Ketegangan di wajah tanteku memudar
digantikan kelegaan. Jika kami benar-benar tersesat di tengah kota maka kami
akan menjadi Tarzan kota.
“Mbak. Aku cari kamar mandi dulu.” Kata
tante memberikan tangan sepupuku padaku. Meminta aku menjaganya saat dia
mencari kamar mandi.
Suasana lobi rumah sakit begitu penuh
sesak. Antrian pasien yang menggunkan Jamkesmas sangat panjang mencapai luar
gedung. Menandakan seberapa parah ekonomi sebagian besar penduduk Indonesia.
Karena ini adalah kunjungan kami yang kedua
ke RSU Dr Soetomo yang dikenal juga dengan nama rumah sakit Karang Menjangan,
maka aku sudah memahami prosedurnya. Aku mengajak Hania berdiri di depan loket
yang sesuai. Menyaksikan berbagai macam pasien dan keluarganya. Belum Nampak
petugas di dalam loket. Kulirik sekilas arlogiku, Beberapa menit lagi. Batinku
“Jam berapa mbak bukanya?” sapa seorang ibu
yang antri di sampingku.
“Jadwalnya jam 7 bu? Ibu pasien baru?”
jawabku
“Iya mbak. Dari Gresik. Mbaknya dari mana?”
Tanya beliau lagi
Dan dalam hitungan detik kami menjadi
akrab. Mungkin karena kami merasa senasib. Benar kata guruku dulu, orang-orang
yang merasa senasib akan berubah menjadi
saudara. Tampak sekali si ibu merasa begitu sedih. Beberapa kali beliau
mengusapkan sapu tangan ke matanya yang berair. Suami beliau yang berdiri
disampingnya tampak mencoba menenangkannya. Tanpa diminta si ibu menceritakan
pada kami bahwa beliau di diagnose kanker rahim oleh rumah sakit di kota beliau
dan di rujuk kemari.
“Mbaknya sakit apa?” Tanya beliau lagi
“Bukan saya bu. Adik saya yang periksa.”
Kataku mengenalkan Hania
Mata si ibu semakin berkaca-kaca berbagai
komentar keluar darinya. Meminta kami bersabar dengan ujian ini. Mencoba
menyakinkan kami dengan kondisi yang kami alami dan terdengar mencoba
menyakinkan dirinya sendiri. Tanteku yang telah kembali dari kamar mandi
mengenggam tanganku erat mendengarkan perkataan teman baru kami tersebut.
Aku membalas remasan tangannya. Mencoba
mengingatkannya tentang janji yang di buat sebelum kami berangkat untuk
periksaan kedua ini bahwa, dia akan sesalu tegar saat melakukan berbagai macam
pemeriksaan yang akan di hadapi anaknya.
Kami melakukan berbagai macam pemeriksaan,
berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain dan bertemu berbagai macam
pasien. Di setiap antrian kami bertemu teman baru dan cerita-cerita baru. Penyakit
yang kami alami mungkin tidak separah dengan yang dialami seorang gadis kecil
berusia 4 tahun asal Jember yang harus datang ke Surabaya setiap 2 minggun
sekali untuk pengobatan. Kesedihan kami mungkin tidak setara dengan kesedihan
seorang ibu yang harus menjaga dua anaknya yang sedang meregang nyawa di ICU
karena kecelakaan. Beban hidup yang kami rasakan tidak akan sebanding dengan
seorang kakek yang harus mengantar istrinya yang sama-sama telah lanjut usia.
Berbagai macam penyakit kami dengar mulai
dari jari kaki yang tidak sengaja terpatuk burung peliharaan dan berujung pada
amputasi. Sampai segala macam jenis kanker yang diderita pasien. Datang ke
rumah sakit secara otomatis membuat kami lebih bersyukur.
Saat seseorang didiagnosa menderita sebuah penyakit
mematikan maka dia merasa dunia runtuh.
Seolah dia adalah makhluk yang paling menyedihkan. Dan yang paling
bahaya protes pada Allah apa salahnya kenapa dia diberi penyakit yang
mematikan.
Namun, saat datang ke sebuah rumah sakit,
menyaksikan dan mendengar berbagai macam cerita, maka kita akan tahu betapa kita beruntung. Betapa
beruntungnya kami karena nikmat sehat ini ya Rabb…
NB: Sudahkan kau bersyukur atas nikmat
sehat yang kamu dapatkan hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar